DIVISI PENGAWASAN DAN SOSIALISASI BAWASLU KALBAR

MEWUJUDKAN PEMILU YANG BERMARTABAT, BERINTEGRITAS DAN BERKUALITAS DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Minggu, 10 Mei 2015

Pilkada 2015, Potensi Pelanggaran Semakin Canggih

Jakarta, DKPP- Anggota sekaligus Juru Bicara DKPP Nur Hidayat Sardini mengungkapkan kemungkinan akan adanya potensi pelanggaran yang semakin canggih pada Pilkada serentak 2015. Hal tersebut Ia sampaikan di ruang kerjanya, kantor DKPP siang tadi, Rabu (6/5).
“Asumsi dasarnya, mereka para aktor atau peserta Pemilu kebanyakan ialah pemain lama, Pilkada bukan hal yang baru bagi mereka, ini artinya terjadi pemahaman yang lebih matang bagi mereka sehingga mereka tahu dimana titik-titik kelemahan Penyelenggara Pemilu,” terang pria yang baru saja merilis buku “Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu” itu.
Lebih lanjut, Dosen pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro ini juga mengungkapkan dengan pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh aktor/ peserta Pemilu, para aktor tersebut tahu pada titik mana mereka harus “bermain”. Apakah tetap menggunakan metode kuno yaitu dengan membagi-bagikan uang kepada pemilih, ataukah dengan metode baru, misalnya dengan cara potong kompas.
Adapun simpul-simpul pelanggaran yang kemungkinan akan terjadi pada Pilkada 2015 nanti, pria yang kerap disapa NHS ini menerangkan secara garis besar kemungkinan tidak terlalu berbeda dengan Pilkada- Pilkada sebelumnya (red : Juni 2005-2013). Misalnya pada tahap Pendaftaran Bakal Calon (Balon), seringkali KPU dihadapkan pada problem otoritas dan legalitas terkait dinamika internal partai politik (kepengurusan ganda).
“Sepanjang perkara Pilkada 2012-2013 yang pernah ditangani DKPP salah satu permasalahan yang paling mengemuka adalah pencalonan, yang relevansinya pada keberpihakan,” jelasnya.
Sedangkan pada simpul Pemungutan dan Penghitungan suara NHS menjelaskan dalam tahapan tersebut potensi pelanggaran yang paling rawan ialah adanya manipulasi suara yang juga merupakan balutan dari keberpihakan.
Menghadapi ancaman pelanggaran tersebut, tentu DKPP telah menyiapkan berbagai threatment untuk meminimalisir pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu pada Pilkada 2015. Salah satunya melalui sosialisasi di beberapa titik.
“Selain itu, DKPP juga melakukan pembinaan yang bersifat spesifik, kadang  jajaran penyelenggara Pemilu ada yang konsul ke DKPP,  kami terima mereka,” tutup NHS. (Susi Dian Rahayu)
Editor: Dio (Sumber berita dari Web DKPP, BY: Lamus)

Kamis, 07 Mei 2015


BIMTEKS KERJA SAMA PENGAWASAN

DIVISI PENGAWASAN BAWASLU KALBAR AKAN MELAKSANAKAN BIMTEKS KERJA SAMA PENGAWASAN
Pengawasan partisipatif merupakan strategi pengawasan Pemilihan Umum yang melibatkan masyarakat dalam hal ini para pemuda, organisasi mahasiswa/pemuda dan sebagainya.  Strategi ini dilakukan dalam rangka mendorong secara aktif peran masyarakat untuk melakukan pengawasan Pemilu/Pemilukada.
Pengawasan Pemilihan Bupati dan Wakil tahun 2015 di Provinsi Kalimantan Barat masih menggunakan strategi pengawasan partisipatif. Sehubungan dengan hal tersebut maka Divisi Pengawasan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Barat akan melaksanakan Bimbingan Teknis (Bimteks) kerja sama pengawasan yang akan dilaksanakan pada tanggal 11 – 13 Mei 2015, bertempat di Aula Graha Departemen Koperasi Indonesia Wilayah (Dekopinwil). Kegiatan Bimteks tersebut akan menghadirkan Narasumber dari Pimpinan Bawaslu Provinsi Kalbar, Kepolisian Daerah Klaimantan Barat dan Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpollinmas) Provinsi Kalimantan Barat.

Bimteks Kerja Sama pengawasan tersebut akan diikuti oleh Anggota Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kabupaten Divisi Pengawasan dari 7 Kabupaten yang akan melaksanakan Pemiliahan Bupati dan Wakil Bupati tahun 2015, Perwakilan Media Cetak, Media Elektronik, serta LSM yang ada di Provinsi Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak (by: Lamus).

Rabu, 06 Mei 2015

Mengawasi Pelanggaran/Kejahatan
Penyelenggara Pemilu
Pemilihan Umum merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara Pemilu yang lemah dan tidak mempunyai integritas berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas dan mencederai proses demokrasi.

Pelaksanaan pemilu yang berkualitas tergantung dari Penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Bawaslu mulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling bawah kelurahan/desa yang bertugas untuk menyelenggarakan dan mengawasi pelaksanaan pemilu yang LUBER dan JURDIL. Dan Sejak berlakunya UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu telah dibentuk sebuah lembaga baru yaitu Dewan kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bertugas untuk menegakkan kode etik penyelenggara pemilu.

Integritas Peyelenggara Pemilu

Integritas Penyelenggara pemilu  saat ini disangsikan oleh berbagai pihak???, Betapa tidak, dalam catatan DKPP sepanjang tahun 2012-2013 DKPP telah memecat sebanyak 117 orang penyelenggara pemilu yang menjadi pertanda bahwa masih banyak penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas dan berkualitas.  Hal ini bisa terjadi karena disebabkan oleh pola perekrutan komisioner KPU dan BAWASLU yang tidak berkualitas dan transparan, lemahnya prosedur aturan formal maupun karena kualitas moral yang rendah dan mudah tergiur oleh rayuan peserta pemilu maupun peserta pemilukada. Dalam proses perekrutan khususnya anggota KPU di daerah, sudah jamak terdengar bahwa proses tersebut banyak diwarnai oleh lobi-lobi personal maupun tekanan “orang-orang kuat” agar seorang calon anggota KPU bisa lolos seleksi, termasuk praktek suap untuk mempengaruhi keputusan penetapan anggota KPU yang lolos seleksi, sehingga tatkala mereka lolos pasti dengan mudah dapat ditebak mereka akan mengabdi kepada para “sponsor” dan mengabaikan kode etik penyelenggara pemilu.
 

Modus Pelanggaran/Kejahatan Penyelenggara Pemilu

Dalam pelaksanaan Pemilu 2014 telah diprediksi akan berpotensi terjadi berbagai macam pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu sehingga hal tersebut harus diantisipasi.
 
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis kami terhadap pemilu 2009 yang lalu terhadap beberapa kasus yang kami laporkan dan diproses oleh Dewan Kehormatan KPU Prov. Sultra tahun 2009 ada beberapa modus dan potensi pelanggaran yang dapat dilakukan penyelenggara pemilu pada tahun 2014 yaitu : Pertama Penyelenggara Pemilu bekerja tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kode etik penyelenggara pemilu, Kedua Penyelenggara pemilu menghilangkan hak pilih masyarakat, Ketiga Penyelenggara pemilu menggunakan jabatan dan kewenangannya untuk mengarahkan penyelenggara pemilu lainnya mendukung partai atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan oleh komisioner KPU didaerah dengan mengarahkan PPK maupun PPS untuk mendukung caleg tertentu Keempat Penyelenggara Pemilu mengubah berita acara hasil perhitungan suara untuk memenangkan partai atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan mulai dari tingkat KPPS sampai dengan KPU Kab/KPU Prov. Kelima Penyelenggara Pemilu (Bawaslu/Panwaslu) tidak memproses temuan maupun laporan pelanggaran pemilu yang dilaporkan oleh masyarakat, Keenam Penyelenggara Pemilu menerima suap dari partai atau caleg tertentu, Ketujuh Penyelenggara bermain dan intervensi dalam pengadaan logistik pemilu dan pengelolaan keuangan pemilu, Kedelapan Penyelenggara Pemilu membuat kebijakan yang menguntungkan partai atau caleg tertentu.

Sanksi bagi Penyelenggara pemilu

Berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD setidaknya ada dua sanksi yang bisa diterima oleh penyelenggara Pemilu apabila melakukan pelanggaran dan atau kejatahatan, yaitu sanksi pidana dan saksi kode etik.

Sanksi pidana diberikan apabila penyelenggara pemilu melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Tindak pidana pemilu  meliputi pelanggaran dan atau kejahatan yang diatur dalam pasal 273 sampai dengan pasal 312 UU No. 8 tahun 2012. Pidana pemilu bagi penyelenggara pemilu berlaku untuk dua lembaga yaitu KPU beserta jajarannya sampai tingkat PPS dan atau KPS/KPPSLN dan Bawaslu beserta jajaran sampai tingkal PPL. Pidana pemilu untuk anggota KPU beserta jajarannya meliputi tindak pidana menghilangkan hak pilih dan pemutakhiran DPT (Psl. 273,292,293,294), melakukan rekayasa atau pemalsuan dokumen persyaratan bakal calon anggota DPR,DPD,DPRD (Psl 298), tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/panwaslu (psl 296), tidak memberikan salinan DPT kepada parpol ( psl. 295), melakukan tindak pidana kampanye dan kampanye diluar jadwal (psl 276, 302) tidak menandatangani berita acara pemungutan suara/sertifikat hasil penghitungan suara (Psl. 285), tidak mengumumkan dan memberikan salinan hasil pengitungan suara (psl 288, 290) menyebabkan hilangnya suara pemilih atau sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan perolehan suara (psl. 287, 309, 311,312), tidak menyerahkan kotak suara beserta isinya (Psl 315,316) tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap (psl 318), sengaja tidak melaksanakan keputusan pemungutan suara ulang (psl 285) tidak menetapkan perolehan hasil pemilu (psl 319). Untuk BAWASLU beserta jajaran meliputi tindak pidana tidak mengawasi penyerahan kotak suara beserta isinya (psl 289), tidak menindaklanjuti laporan atau pengaduan terhadap pelanggaran anggota KPU,KPU prov, KPU Kab.,PPK,PPS dan atau KPPS/KPPSLN (psl 320). UU No. 8 tahun 2012 juga khusus memberikan pemberatan kepada penyelenggara pemilu dengan tambahan hukuman 1/3 dari ketentuan pidana yang ditentukan.

Sanksi kode etik diberikan apabila terbukti penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran kode etik. Pelanggaran kode etik tidak hanya terkait dengan adanya pelanggaran pidana pemilu tetapi juga terkait pelanggaran adminsitrasi maupun berbagai tindakan penyelenggara pemilu yang tidak sejalan dengan kode etik penyelenggara pemilu. Pelanggaran kode etik dapat diberikan apabila penyelenggara pemilu terbukti melanggar kode etik yang berlandaskan UUD 1945, sumpah jabatan sebagai penyelenggara pemilu dan asas penyelenggara pemilu  sebagaimana telah diatur dalam UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan Peraturan bersama KPU,BAWASLU dan DKPP no. 1,11,13 tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Asas penyelenggara pemilu meliputi asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalisme, akuntabilitas,, efisiensi dan efektifitas yang harus dipedomani oleh setiap penyelenggara pemilu.

Penegakkan Hukum Pemilu

Salah satu yang sering menjadi bahan kritikan masyarakat adalah masalah lemahnya penegakkan hukum pemilu. Walaupun dalam UU no. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR,DPD,dan DPRD telah diatur berbagai macam pelanggaran pemilu tetapi dalam pelaksanaanya belum efektif dilapangan.

Pengakkan hukum bagi penyelenggara pemilu terutama masalah pelanggaran pidananya yang dirasakan tidak efektif diakibatkan oleh beberapa hal yaitu Pertama, ancaman pidana yang banyak terdapat di dalam UU No. 8/2012 masih belum menemui sasaran karena tidak tersosialisasi dengan baik dimasyarakat, sehingga masyarakat ataupun peserta pemilu tidak paham dengan berbagai tindak pidana pemilu yang dapat dilaporkan, Kedua, efektivitas penggunaan ketentuan pidana terkait dengan berbagai kecurangan penyelenggara mengenai  administrasi pemilu, hal ini disebakan karena susahnya masyarakat atau peserta pemilu  untuk mendapatkan akses informasi terkait dengan administrasi pemilu karena selalu dikaitkan dengan kerahasian informasi pemilu, dan juga pembuktian yang susah terkait bukti surat yang telah direkayasa ataupun sengaja dibiarkan oleh penyelenggara pemilu. Ketiga, batasan waktu dalam pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, serta proses banding ternyata di satu sisi bermaksud baik agar proses dan hasil pemilu tidak banyak diungkit-ungkit, tapi juga berdampak buruk berupa musnahnya banyak perkara yang mungkin secara materiil memang memenuhi unsur tindak pidana pemilu. Ketentuan tersebut tidak memperhitungkan kondisi di berbagai daerah di Indonesia sehingga berakibat banyak tindak pidana pemilu tidak bisa diproses lebih lanjut karena sudah dianggap kedaluwarsa. Jika dibandingkan, betapa kontras dan tidak logisnya ketentuan ”daluwarsa” dalam UU No. 08/2012 dengan KUHP. Ketidakadilan itu sungguh terlihat dengan membandingkan antara perbuatan yang serius (mengubah hasil pemilu) dalam Pasal 312 UU No. 8/2012 yang bisa dihukum hingga 36 bulan tetapi hak menuntutnya akan hapus hanya dalam waktu 7 (Tujuh) hari, sementara perbuatan yang sangat ringan (mengemis) dalam Pasal 504 yang diancam kurungan 6 minggu ternyata masa daluwarsanya 1 tahun (sesuai Pasal 78 ayat 1 KUHP). Keempat, lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu/Panwaslu, sebagaimana diketahui bahwa Bawaslu/Panwaslu yang berhak untuk mengawasi peyelenggaraan Pemilu termasuk mengawasi penyelenggara pemilu dan Bawaslu/Panwaslu yang bisa leluasa untuk mengakses administrasi pemilu dari KPU. Laporan masyarakat tidak boleh langsung dilaporkan kepada kepolisian tetapi harus melalui Bawaslu/panwaslu yang akan mengkaji terlebih dahulu sebelum diteruskan kepada pihak yang berwenang. Tetapi disayangkan bahwa Bawaslu/Panwaslu terkadang hanya berharap dari laporan masyarakat dan tidak melaksanakan fungsinya untuk bisa bisa menemukan sendiri berbagai kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk diteruskan kepada pihak yang berwenang yakni Kepolisian atau DKPP padahal kewenangannya cukup besar dan bahkan ironis beberapa contoh kasus di Sultra terkesan Panwaslu mendiamkan berbagai laporan masyarakat dengan berbagai alasan formalistik yang mengada-ada.

Dalam hal penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu juga masih dirasakan kurang efektif, mengingat bahwa kedudukan DKPP yang berkantor di Jakarta yang menyulitkan bagi masyarakat ataupun peserta pemilu di daerah untuk melaporkan pelanggaran penyelenggara pemilu di daerah, walaupun menjelang Pemilu 2014 ini DKPP telah membentuk Tim Pemeriksa Daerah yang bertugas untuk menerima laporan dan memeriksa perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tetapi hal itu belum bisa menjamin akan mengefektifkan penegakkan kode etik penyelenggara pemilu, sehingga keterlibatan aktif masyarakat untuk mengawasi penyelenggara pemilu sangat diharapkan untuk mewujudkan Pemilu 2014 yang LUBER, JURDIL dan Berkualitas.

DIVISI PENGAWASAN BAWASLU KALBAR: BAWASLU KALBAR LANTIK 21 ANGGOTA PANWASLIH 2015

DIVISI PENGAWASAN BAWASLU KALBAR: BAWASLU KALBAR LANTIK 21 ANGGOTA PANWASLIH 2015: BAWASLU KALBAR LANTIK 21 PANWASLIH 2015 Pontianak, Bawaslu Prov. Kalbar. Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Kalimanta...

BAWASLU KALBAR LANTIK 21 ANGGOTA PANWASLIH 2015

BAWASLU KALBAR LANTIK 21 PANWASLIH 2015
Pontianak, Bawaslu Prov. Kalbar. Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Barat melantik 21 Anggota Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015. Sebanyak 21 Anggota Panwaslih tersebut berasal dari 7 Kabupaten yang akan melaksanakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Provinsi Kalimantan Barat, yaitu: Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sambas. Pelantikan dilaksanakan di gedung Graha Dewan Koperasi Indonesia Wilayah (Dekopinwil) kota Pontianak, Kamis, (30/4).
Dalam sambutannya, ketua Bawaslu Prov. Kalbar, Ruhermansyah, SH. Menyampaikan pesan kepada 21 Panwaslih yang baru saja dilantik agar menjauhi dan hindari diri  konflik kepentingan, keberpihakan  dan mencegah terjadinya konflik; melakukan maping Indek Kerawanan Pemilu dan koordinasikan dengan aparat keamanan sudah tentu memiliki peta kerawanan konflik berdasarkan pengalaman yang sebelumnya dan berdasarkan informasi terbaru intelijen; Libatkan masyarakat secara masif dalam partisipasi pengawasan pemilihan ini dan untuk kerjasama pengawasan, menjaga keamanan dan ketertiban; jangan lengah dan lalai untuk melakukan pembinaan pada jajaran di bawahnya;
Bimteks Panwaslih 2015
Ketua Bawaslu RI, Profesor Dr Muhammad, SIP, M.Si. saat menjadi narasumber kegiatan Bimbingan Teknis bagi anggota Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati tahun 2015 Provinsi Kalimantan Barat di gedung Graha Dewan Koperasi Indonesia Wilayah (Dekopinwil) kota Pontianak, Kamis, (30/4) mengatakan bahwa Pilkada memiliki potensi konflik yang lebih besar dibanding Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Karena Pilkada melibatkan secara langsung tiga struktur kekuasaan yaitu kelompok elit, kelas menengah,dan masyarakat akar rumput. Semua kelompok tersebut akan bersinggungan untuk mencapai target dalam memenangkan Pilkada. Sehingga Pilkada ini menjadi tantangan besar bagi penyelenggara Pemilu khususnya panitia pengawas.
Ia menyatakan meskipun Komisi II DPR RI masih meragukan kesiapan KPU dan Bawaslu beserta jajaran di daerah bisa menyelenggarakan Pilkada serentak ini dengan baik dan fair, namun mau tidak mau hal ini harus dijawab. "Kalau pada tahun 2015 ini kita bisa sukses menyelenggarakan Pilkada khususnya pengawasan, maka insyaAllah lima tahap selanjutnya tetap akan diserahkan kepada KPU dan Bawaslu" tandasnya.
Pilkada 2015 ini, meminjam istilah sepak bola merupakan tantangan yang bersifat suddent death bagi lembaga pengawas Pemilu. Kalau di Pilkada ini ternyata menurut penilaian DPR bahwa KPU dan Bawaslu tidak sukses memastikan proses Pilkada bebas dari intervensi, tekanan, dan kekurangan, maka dipastikan Pilkada ini akan kembali ke wacana Pilkada tidak langsung, ujarnya.
Oleh karena itu, yang menentukan adalah pengawas Pilkada yang ada di tingkat kabupaten/kota. Bawaslu di pusat sifatnya menerima laporan secara berjenjang, sehingga tidak tahu persoalan sebenarnya di lapangan. "Untuk besok, Panwas Kab/Kota pada saat seleksi Panwascam harus dipastikan netral atau tidaknya calon anggota panwascam tersebut", pesannya.
Muhammad menekankan kembali kepada seluruh Panwas agar membaca dan mempelajari semua regulasi terkait Pemilu secara lengkap, cerdas dan cermat. Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilu menunjukkan bahwa syarat menjadi pengawas Pemilu itu lebih berat satu digit daripada KPU. Hal itu dinyatakan dalam pasal 23 tentang syarat menjadi anggota Pengawas Pemilu yaitu memiliki pengetahuan kepemiluan dan pengawasan. "Maka menjadi anggota Pengawas Pemilu itu harus lebih paham regulasi dan lebih cerdas daripada KPU", imbuhnya. diharapkan dengan menguasai dan memahami regulasi Pemilu, Panitia Pengawas jadi lebih percaya diri dan profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 
Diakhir diskusi, guru besar ilmu politik Universitas Hasanuddin Makassar ini berpesan kepada seluruh Panwas yang baru dilantik agar melakukan konsolidasi internal, menjaga kerjasama dan soliditas antara anggota dan juga sekretariat. Selain itu, Panwas terpilih juga harus melakukan konsolidasi eksternal dengan KPU, melakukan komunikasi dengan Pemerintah daerah, media massa serta koordinasi dengan partai politik untuk memberikan orientasi atau penjelasan terkait Pilkada.

Kegiatan Bimteks ini dilaksanakan mulai tanggal 30 April sampai dengan 02 Mei 2015 dengan alokasi waktu 20 jam, metode pembelajaran partisipatif, ungkap Musa. J, SE., tim Assistensi Bawalsu Prov. Kalbar yang menjadi Fasilitator dalam kegiatan ini.