Mengawasi Pelanggaran/Kejahatan
Penyelenggara Pemilu
|
Pemilihan Umum merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna
menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila
Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan
menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara Pemilu
yang lemah dan tidak mempunyai integritas berpotensi menghambat terwujudnya
Pemilu yang berkualitas dan mencederai proses demokrasi.
Pelaksanaan pemilu yang berkualitas tergantung dari Penyelenggara pemilu
yaitu KPU dan Bawaslu mulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling bawah
kelurahan/desa yang bertugas untuk menyelenggarakan dan mengawasi pelaksanaan
pemilu yang LUBER dan JURDIL. Dan Sejak berlakunya UU No. 15 tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu telah dibentuk sebuah lembaga baru yaitu Dewan kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bertugas untuk menegakkan kode etik
penyelenggara pemilu.
Integritas Peyelenggara Pemilu
Integritas Penyelenggara pemilu saat ini disangsikan oleh berbagai
pihak???, Betapa tidak, dalam catatan DKPP sepanjang tahun 2012-2013 DKPP telah
memecat sebanyak 117 orang penyelenggara pemilu yang menjadi pertanda bahwa
masih banyak penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas dan
berkualitas. Hal ini bisa terjadi karena disebabkan oleh pola perekrutan
komisioner KPU dan BAWASLU yang tidak berkualitas dan transparan, lemahnya
prosedur aturan formal maupun karena kualitas moral yang rendah dan mudah
tergiur oleh rayuan peserta pemilu maupun peserta pemilukada. Dalam proses
perekrutan khususnya anggota KPU di daerah, sudah jamak terdengar bahwa proses
tersebut banyak diwarnai oleh lobi-lobi personal maupun tekanan “orang-orang
kuat†agar seorang calon anggota KPU bisa lolos seleksi, termasuk praktek
suap untuk mempengaruhi keputusan penetapan anggota KPU yang lolos seleksi,
sehingga tatkala mereka lolos pasti dengan mudah dapat ditebak mereka akan
mengabdi kepada para “sponsor†dan mengabaikan kode etik penyelenggara
pemilu.
Modus Pelanggaran/Kejahatan Penyelenggara Pemilu
Dalam pelaksanaan Pemilu 2014 telah diprediksi akan berpotensi terjadi berbagai
macam pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu sehingga hal
tersebut harus diantisipasi.
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis kami terhadap pemilu 2009 yang lalu
terhadap beberapa kasus yang kami laporkan dan diproses oleh Dewan Kehormatan
KPU Prov. Sultra tahun 2009 ada beberapa modus dan potensi pelanggaran yang
dapat dilakukan penyelenggara pemilu pada tahun 2014 yaitu : Pertama
Penyelenggara Pemilu bekerja tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan kode etik penyelenggara pemilu, Kedua Penyelenggara pemilu menghilangkan
hak pilih masyarakat, Ketiga Penyelenggara pemilu menggunakan jabatan dan
kewenangannya untuk mengarahkan penyelenggara pemilu lainnya mendukung partai
atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan oleh komisioner KPU didaerah
dengan mengarahkan PPK maupun PPS untuk mendukung caleg tertentu Keempat
Penyelenggara Pemilu mengubah berita acara hasil perhitungan suara untuk
memenangkan partai atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan mulai dari
tingkat KPPS sampai dengan KPU Kab/KPU Prov. Kelima Penyelenggara Pemilu
(Bawaslu/Panwaslu) tidak memproses temuan maupun laporan pelanggaran pemilu
yang dilaporkan oleh masyarakat, Keenam Penyelenggara Pemilu menerima suap dari
partai atau caleg tertentu, Ketujuh Penyelenggara bermain dan intervensi dalam
pengadaan logistik pemilu dan pengelolaan keuangan pemilu, Kedelapan
Penyelenggara Pemilu membuat kebijakan yang menguntungkan partai atau caleg
tertentu.
Sanksi bagi Penyelenggara pemilu
Berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD
setidaknya ada dua sanksi yang bisa diterima oleh penyelenggara Pemilu apabila
melakukan pelanggaran dan atau kejatahatan, yaitu sanksi pidana dan saksi kode
etik.
Sanksi pidana diberikan apabila penyelenggara pemilu melakukan perbuatan yang
dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Tindak pidana pemilu meliputi
pelanggaran dan atau kejahatan yang diatur dalam pasal 273 sampai dengan pasal
312 UU No. 8 tahun 2012. Pidana pemilu bagi penyelenggara pemilu berlaku untuk
dua lembaga yaitu KPU beserta jajarannya sampai tingkat PPS dan atau KPS/KPPSLN
dan Bawaslu beserta jajaran sampai tingkal PPL. Pidana pemilu untuk anggota KPU
beserta jajarannya meliputi tindak pidana menghilangkan hak pilih dan
pemutakhiran DPT (Psl. 273,292,293,294), melakukan rekayasa atau pemalsuan
dokumen persyaratan bakal calon anggota DPR,DPD,DPRD (Psl 298), tidak
menindaklanjuti temuan Bawaslu/panwaslu (psl 296), tidak memberikan salinan DPT
kepada parpol ( psl. 295), melakukan tindak pidana kampanye dan kampanye diluar
jadwal (psl 276, 302) tidak menandatangani berita acara pemungutan
suara/sertifikat hasil penghitungan suara (Psl. 285), tidak mengumumkan dan
memberikan salinan hasil pengitungan suara (psl 288, 290) menyebabkan hilangnya
suara pemilih atau sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan perolehan
suara (psl. 287, 309, 311,312), tidak menyerahkan kotak suara beserta isinya
(Psl 315,316) tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
tetap (psl 318), sengaja tidak melaksanakan keputusan pemungutan suara ulang
(psl 285) tidak menetapkan perolehan hasil pemilu (psl 319). Untuk BAWASLU
beserta jajaran meliputi tindak pidana tidak mengawasi penyerahan kotak suara
beserta isinya (psl 289), tidak menindaklanjuti laporan atau pengaduan terhadap
pelanggaran anggota KPU,KPU prov, KPU Kab.,PPK,PPS dan atau KPPS/KPPSLN (psl
320). UU No. 8 tahun 2012 juga khusus memberikan pemberatan kepada
penyelenggara pemilu dengan tambahan hukuman 1/3 dari ketentuan pidana yang
ditentukan.
Sanksi kode etik diberikan apabila terbukti penyelenggara pemilu melakukan
pelanggaran kode etik. Pelanggaran kode etik tidak hanya terkait dengan adanya
pelanggaran pidana pemilu tetapi juga terkait pelanggaran adminsitrasi maupun
berbagai tindakan penyelenggara pemilu yang tidak sejalan dengan kode etik
penyelenggara pemilu. Pelanggaran kode etik dapat diberikan apabila
penyelenggara pemilu terbukti melanggar kode etik yang berlandaskan UUD 1945,
sumpah jabatan sebagai penyelenggara pemilu dan asas penyelenggara pemilu
sebagaimana telah diatur dalam UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu dan Peraturan bersama KPU,BAWASLU dan DKPP no. 1,11,13 tahun 2012
tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Asas penyelenggara pemilu meliputi asas
mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalisme, akuntabilitas,, efisiensi dan efektifitas
yang harus dipedomani oleh setiap penyelenggara pemilu.
Penegakkan Hukum Pemilu
Salah satu yang sering menjadi bahan kritikan masyarakat adalah masalah
lemahnya penegakkan hukum pemilu. Walaupun dalam UU no. 8 tahun 2012 tentang
Pemilu DPR,DPD,dan DPRD telah diatur berbagai macam pelanggaran pemilu tetapi
dalam pelaksanaanya belum efektif dilapangan.
Pengakkan hukum bagi penyelenggara pemilu terutama masalah pelanggaran
pidananya yang dirasakan tidak efektif diakibatkan oleh beberapa hal yaitu
Pertama, ancaman pidana yang banyak terdapat di dalam UU No. 8/2012 masih belum
menemui sasaran karena tidak tersosialisasi dengan baik dimasyarakat, sehingga
masyarakat ataupun peserta pemilu tidak paham dengan berbagai tindak pidana
pemilu yang dapat dilaporkan, Kedua, efektivitas penggunaan ketentuan pidana
terkait dengan berbagai kecurangan penyelenggara mengenai administrasi
pemilu, hal ini disebakan karena susahnya masyarakat atau peserta pemilu
untuk mendapatkan akses informasi terkait dengan administrasi pemilu karena
selalu dikaitkan dengan kerahasian informasi pemilu, dan juga pembuktian yang
susah terkait bukti surat yang telah direkayasa ataupun sengaja dibiarkan oleh
penyelenggara pemilu. Ketiga, batasan waktu dalam pelaporan, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, serta proses banding ternyata di satu
sisi bermaksud baik agar proses dan hasil pemilu tidak banyak diungkit-ungkit,
tapi juga berdampak buruk berupa musnahnya banyak perkara yang mungkin secara
materiil memang memenuhi unsur tindak pidana pemilu. Ketentuan tersebut tidak
memperhitungkan kondisi di berbagai daerah di Indonesia sehingga berakibat
banyak tindak pidana pemilu tidak bisa diproses lebih lanjut karena sudah
dianggap kedaluwarsa. Jika dibandingkan, betapa kontras dan tidak logisnya
ketentuan â€daluwarsa†dalam UU No. 08/2012 dengan KUHP. Ketidakadilan itu
sungguh terlihat dengan membandingkan antara perbuatan yang serius (mengubah
hasil pemilu) dalam Pasal 312 UU No. 8/2012 yang bisa dihukum hingga 36 bulan
tetapi hak menuntutnya akan hapus hanya dalam waktu 7 (Tujuh) hari, sementara
perbuatan yang sangat ringan (mengemis) dalam Pasal 504 yang diancam kurungan 6
minggu ternyata masa daluwarsanya 1 tahun (sesuai Pasal 78 ayat 1 KUHP).
Keempat, lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu/Panwaslu,
sebagaimana diketahui bahwa Bawaslu/Panwaslu yang berhak untuk mengawasi
peyelenggaraan Pemilu termasuk mengawasi penyelenggara pemilu dan
Bawaslu/Panwaslu yang bisa leluasa untuk mengakses administrasi pemilu dari
KPU. Laporan masyarakat tidak boleh langsung dilaporkan kepada kepolisian
tetapi harus melalui Bawaslu/panwaslu yang akan mengkaji terlebih dahulu
sebelum diteruskan kepada pihak yang berwenang. Tetapi disayangkan bahwa
Bawaslu/Panwaslu terkadang hanya berharap dari laporan masyarakat dan tidak
melaksanakan fungsinya untuk bisa bisa menemukan sendiri berbagai kecurangan
yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk diteruskan kepada pihak yang
berwenang yakni Kepolisian atau DKPP padahal kewenangannya cukup besar dan
bahkan ironis beberapa contoh kasus di Sultra terkesan Panwaslu mendiamkan
berbagai laporan masyarakat dengan berbagai alasan formalistik yang
mengada-ada.
Dalam hal penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu juga masih
dirasakan kurang efektif, mengingat bahwa kedudukan DKPP yang berkantor di Jakarta
yang menyulitkan bagi masyarakat ataupun peserta pemilu di daerah untuk
melaporkan pelanggaran penyelenggara pemilu di daerah, walaupun menjelang
Pemilu 2014 ini DKPP telah membentuk Tim Pemeriksa Daerah yang bertugas untuk
menerima laporan dan memeriksa perkara pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu tetapi hal itu belum bisa menjamin akan mengefektifkan penegakkan kode
etik penyelenggara pemilu, sehingga keterlibatan aktif masyarakat untuk
mengawasi penyelenggara pemilu sangat diharapkan untuk mewujudkan Pemilu 2014
yang LUBER, JURDIL dan Berkualitas.