DIVISI PENGAWASAN DAN SOSIALISASI BAWASLU KALBAR

MEWUJUDKAN PEMILU YANG BERMARTABAT, BERINTEGRITAS DAN BERKUALITAS DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Rabu, 06 Mei 2015

Mengawasi Pelanggaran/Kejahatan
Penyelenggara Pemilu
Pemilihan Umum merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara Pemilu yang lemah dan tidak mempunyai integritas berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas dan mencederai proses demokrasi.

Pelaksanaan pemilu yang berkualitas tergantung dari Penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Bawaslu mulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling bawah kelurahan/desa yang bertugas untuk menyelenggarakan dan mengawasi pelaksanaan pemilu yang LUBER dan JURDIL. Dan Sejak berlakunya UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu telah dibentuk sebuah lembaga baru yaitu Dewan kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bertugas untuk menegakkan kode etik penyelenggara pemilu.

Integritas Peyelenggara Pemilu

Integritas Penyelenggara pemilu  saat ini disangsikan oleh berbagai pihak???, Betapa tidak, dalam catatan DKPP sepanjang tahun 2012-2013 DKPP telah memecat sebanyak 117 orang penyelenggara pemilu yang menjadi pertanda bahwa masih banyak penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas dan berkualitas.  Hal ini bisa terjadi karena disebabkan oleh pola perekrutan komisioner KPU dan BAWASLU yang tidak berkualitas dan transparan, lemahnya prosedur aturan formal maupun karena kualitas moral yang rendah dan mudah tergiur oleh rayuan peserta pemilu maupun peserta pemilukada. Dalam proses perekrutan khususnya anggota KPU di daerah, sudah jamak terdengar bahwa proses tersebut banyak diwarnai oleh lobi-lobi personal maupun tekanan “orang-orang kuat” agar seorang calon anggota KPU bisa lolos seleksi, termasuk praktek suap untuk mempengaruhi keputusan penetapan anggota KPU yang lolos seleksi, sehingga tatkala mereka lolos pasti dengan mudah dapat ditebak mereka akan mengabdi kepada para “sponsor” dan mengabaikan kode etik penyelenggara pemilu.
 

Modus Pelanggaran/Kejahatan Penyelenggara Pemilu

Dalam pelaksanaan Pemilu 2014 telah diprediksi akan berpotensi terjadi berbagai macam pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu sehingga hal tersebut harus diantisipasi.
 
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis kami terhadap pemilu 2009 yang lalu terhadap beberapa kasus yang kami laporkan dan diproses oleh Dewan Kehormatan KPU Prov. Sultra tahun 2009 ada beberapa modus dan potensi pelanggaran yang dapat dilakukan penyelenggara pemilu pada tahun 2014 yaitu : Pertama Penyelenggara Pemilu bekerja tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kode etik penyelenggara pemilu, Kedua Penyelenggara pemilu menghilangkan hak pilih masyarakat, Ketiga Penyelenggara pemilu menggunakan jabatan dan kewenangannya untuk mengarahkan penyelenggara pemilu lainnya mendukung partai atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan oleh komisioner KPU didaerah dengan mengarahkan PPK maupun PPS untuk mendukung caleg tertentu Keempat Penyelenggara Pemilu mengubah berita acara hasil perhitungan suara untuk memenangkan partai atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan mulai dari tingkat KPPS sampai dengan KPU Kab/KPU Prov. Kelima Penyelenggara Pemilu (Bawaslu/Panwaslu) tidak memproses temuan maupun laporan pelanggaran pemilu yang dilaporkan oleh masyarakat, Keenam Penyelenggara Pemilu menerima suap dari partai atau caleg tertentu, Ketujuh Penyelenggara bermain dan intervensi dalam pengadaan logistik pemilu dan pengelolaan keuangan pemilu, Kedelapan Penyelenggara Pemilu membuat kebijakan yang menguntungkan partai atau caleg tertentu.

Sanksi bagi Penyelenggara pemilu

Berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD setidaknya ada dua sanksi yang bisa diterima oleh penyelenggara Pemilu apabila melakukan pelanggaran dan atau kejatahatan, yaitu sanksi pidana dan saksi kode etik.

Sanksi pidana diberikan apabila penyelenggara pemilu melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Tindak pidana pemilu  meliputi pelanggaran dan atau kejahatan yang diatur dalam pasal 273 sampai dengan pasal 312 UU No. 8 tahun 2012. Pidana pemilu bagi penyelenggara pemilu berlaku untuk dua lembaga yaitu KPU beserta jajarannya sampai tingkat PPS dan atau KPS/KPPSLN dan Bawaslu beserta jajaran sampai tingkal PPL. Pidana pemilu untuk anggota KPU beserta jajarannya meliputi tindak pidana menghilangkan hak pilih dan pemutakhiran DPT (Psl. 273,292,293,294), melakukan rekayasa atau pemalsuan dokumen persyaratan bakal calon anggota DPR,DPD,DPRD (Psl 298), tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/panwaslu (psl 296), tidak memberikan salinan DPT kepada parpol ( psl. 295), melakukan tindak pidana kampanye dan kampanye diluar jadwal (psl 276, 302) tidak menandatangani berita acara pemungutan suara/sertifikat hasil penghitungan suara (Psl. 285), tidak mengumumkan dan memberikan salinan hasil pengitungan suara (psl 288, 290) menyebabkan hilangnya suara pemilih atau sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan perolehan suara (psl. 287, 309, 311,312), tidak menyerahkan kotak suara beserta isinya (Psl 315,316) tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap (psl 318), sengaja tidak melaksanakan keputusan pemungutan suara ulang (psl 285) tidak menetapkan perolehan hasil pemilu (psl 319). Untuk BAWASLU beserta jajaran meliputi tindak pidana tidak mengawasi penyerahan kotak suara beserta isinya (psl 289), tidak menindaklanjuti laporan atau pengaduan terhadap pelanggaran anggota KPU,KPU prov, KPU Kab.,PPK,PPS dan atau KPPS/KPPSLN (psl 320). UU No. 8 tahun 2012 juga khusus memberikan pemberatan kepada penyelenggara pemilu dengan tambahan hukuman 1/3 dari ketentuan pidana yang ditentukan.

Sanksi kode etik diberikan apabila terbukti penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran kode etik. Pelanggaran kode etik tidak hanya terkait dengan adanya pelanggaran pidana pemilu tetapi juga terkait pelanggaran adminsitrasi maupun berbagai tindakan penyelenggara pemilu yang tidak sejalan dengan kode etik penyelenggara pemilu. Pelanggaran kode etik dapat diberikan apabila penyelenggara pemilu terbukti melanggar kode etik yang berlandaskan UUD 1945, sumpah jabatan sebagai penyelenggara pemilu dan asas penyelenggara pemilu  sebagaimana telah diatur dalam UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan Peraturan bersama KPU,BAWASLU dan DKPP no. 1,11,13 tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Asas penyelenggara pemilu meliputi asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalisme, akuntabilitas,, efisiensi dan efektifitas yang harus dipedomani oleh setiap penyelenggara pemilu.

Penegakkan Hukum Pemilu

Salah satu yang sering menjadi bahan kritikan masyarakat adalah masalah lemahnya penegakkan hukum pemilu. Walaupun dalam UU no. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR,DPD,dan DPRD telah diatur berbagai macam pelanggaran pemilu tetapi dalam pelaksanaanya belum efektif dilapangan.

Pengakkan hukum bagi penyelenggara pemilu terutama masalah pelanggaran pidananya yang dirasakan tidak efektif diakibatkan oleh beberapa hal yaitu Pertama, ancaman pidana yang banyak terdapat di dalam UU No. 8/2012 masih belum menemui sasaran karena tidak tersosialisasi dengan baik dimasyarakat, sehingga masyarakat ataupun peserta pemilu tidak paham dengan berbagai tindak pidana pemilu yang dapat dilaporkan, Kedua, efektivitas penggunaan ketentuan pidana terkait dengan berbagai kecurangan penyelenggara mengenai  administrasi pemilu, hal ini disebakan karena susahnya masyarakat atau peserta pemilu  untuk mendapatkan akses informasi terkait dengan administrasi pemilu karena selalu dikaitkan dengan kerahasian informasi pemilu, dan juga pembuktian yang susah terkait bukti surat yang telah direkayasa ataupun sengaja dibiarkan oleh penyelenggara pemilu. Ketiga, batasan waktu dalam pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, serta proses banding ternyata di satu sisi bermaksud baik agar proses dan hasil pemilu tidak banyak diungkit-ungkit, tapi juga berdampak buruk berupa musnahnya banyak perkara yang mungkin secara materiil memang memenuhi unsur tindak pidana pemilu. Ketentuan tersebut tidak memperhitungkan kondisi di berbagai daerah di Indonesia sehingga berakibat banyak tindak pidana pemilu tidak bisa diproses lebih lanjut karena sudah dianggap kedaluwarsa. Jika dibandingkan, betapa kontras dan tidak logisnya ketentuan ”daluwarsa” dalam UU No. 08/2012 dengan KUHP. Ketidakadilan itu sungguh terlihat dengan membandingkan antara perbuatan yang serius (mengubah hasil pemilu) dalam Pasal 312 UU No. 8/2012 yang bisa dihukum hingga 36 bulan tetapi hak menuntutnya akan hapus hanya dalam waktu 7 (Tujuh) hari, sementara perbuatan yang sangat ringan (mengemis) dalam Pasal 504 yang diancam kurungan 6 minggu ternyata masa daluwarsanya 1 tahun (sesuai Pasal 78 ayat 1 KUHP). Keempat, lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu/Panwaslu, sebagaimana diketahui bahwa Bawaslu/Panwaslu yang berhak untuk mengawasi peyelenggaraan Pemilu termasuk mengawasi penyelenggara pemilu dan Bawaslu/Panwaslu yang bisa leluasa untuk mengakses administrasi pemilu dari KPU. Laporan masyarakat tidak boleh langsung dilaporkan kepada kepolisian tetapi harus melalui Bawaslu/panwaslu yang akan mengkaji terlebih dahulu sebelum diteruskan kepada pihak yang berwenang. Tetapi disayangkan bahwa Bawaslu/Panwaslu terkadang hanya berharap dari laporan masyarakat dan tidak melaksanakan fungsinya untuk bisa bisa menemukan sendiri berbagai kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk diteruskan kepada pihak yang berwenang yakni Kepolisian atau DKPP padahal kewenangannya cukup besar dan bahkan ironis beberapa contoh kasus di Sultra terkesan Panwaslu mendiamkan berbagai laporan masyarakat dengan berbagai alasan formalistik yang mengada-ada.

Dalam hal penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu juga masih dirasakan kurang efektif, mengingat bahwa kedudukan DKPP yang berkantor di Jakarta yang menyulitkan bagi masyarakat ataupun peserta pemilu di daerah untuk melaporkan pelanggaran penyelenggara pemilu di daerah, walaupun menjelang Pemilu 2014 ini DKPP telah membentuk Tim Pemeriksa Daerah yang bertugas untuk menerima laporan dan memeriksa perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tetapi hal itu belum bisa menjamin akan mengefektifkan penegakkan kode etik penyelenggara pemilu, sehingga keterlibatan aktif masyarakat untuk mengawasi penyelenggara pemilu sangat diharapkan untuk mewujudkan Pemilu 2014 yang LUBER, JURDIL dan Berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar