DIVISI PENGAWASAN DAN SOSIALISASI BAWASLU KALBAR
MEWUJUDKAN PEMILU YANG BERMARTABAT, BERINTEGRITAS DAN BERKUALITAS DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Rabu, 27 Mei 2015
Senin, 25 Mei 2015
Sabtu, 23 Mei 2015
URGENSI PENGAWASAN PARTISIPATIF DALAM PEMILIHAN BUPATI SAMBAS 2015
PERAN
PENTING PENGAWASAN PARTISIPATIF DALAM PEMILIHAN BUPATI KAB. SAMBAS 2015.
BAWASLU
PROV. KALBAR, SAMBAS. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) menggelar sosialisasi pengawasan
partisipatif dalam rangka pemilihan Bupati Kabupaten Sambas tahun 2015 dengan
tema: “Implementasi Pendidikan Pengawasan Partisipatif”. Bertempat di aula
Kantor BadanPerencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten sambas, Jumat
(22 Mei 2015).
Kegiatan tersebut menghadirkan siswa/i dari berbagai
Sekolah Menengah Umum (SMU), mahasiswa/i perguruan tinggi yang ada di kota
Sambas, dan anggota Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) berjumlah 100 orang
peserta. Kegiatan tersebut dibuka oleh Yuliansyah, SE, MM., Staf Ahli Bupati
Sambas yang mewakili Pemerintah Daerah Kabupaten Sambas. Dalam kata sambutannya
Juliansyah mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mensukseskan pemilihan
bupati Sambas Tahun 2015. “Karena
Bawaslu sendiri terbatas personilnya, sehingga masyarakat sama-sama membantu
mengawasi pelaksanaan penyelenggaran
pemilihan Bupati Sambas tahun 2015” ungkap Yuliansyah.
Ketua Bawaslu Kalbar, Ruhermansyah mengatakan bahwa
Bawaslu akan membuka jalur komunikasi dengan masyarakat secara langsung. Untuk itu
akan dibuka Short Massage Service (SMS) Center yang nantinya akan memudahkan
masyarakat untuk memberikan informasi awal terkait adanya dugaan pelanggaran
pemilu, ungkap Ruhermansyah saat memberikan pemahaman bentuk partisipasi
masyarakat dalam pengawasan pemilihan bupati tahun 2015.
Koordinator Divisi Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu Kalbar,
Krisantus Heru Siswanto mengatakan, “Pemilu sarat pelanggaran akan mengganggu
kredibilitas dan integritas hasil pemilu”, ungkap pria yang akrab di sapa
Krisantus ini, sehingga pengawasan partisipatif dari masyarakat menjadi sangat
urgen, ungkapnya kembali saat menyampaikan materi tentang pengawasan pemilihan
bupati tahun 2015. Sementara Mohamad, koordinator divisi Hukum, humas dan
hubungan antara lembaga menyampaikan materi terkait prosedur dan syarat-syarat
dalam menyampaikan laporan dugaan pelanggaran pemilu.
Ketua Panwaslih Kabupaten Sambas, Iskandar, SH mengatakan
bahwa dia bersama kedua anggotanya Drs. Suhardi dan Andreas, S.Sos siap
menindaklanjuti laporan yang akan disampaikan masyarakat. Dengan menyampaikan
informasi awal saja maka masyarakat sudah berperan aktif dalam pengawasan
partisipatif, ungkap Iskandar.
*Penulis: Musa. J, SE. Tim Asistensi Divisi Pengawasan
dan Sosialisasi Bawaslu prov. Kalbar
*DOKUMENTASI: BAWASLU KALBAR
Rabu, 20 Mei 2015
POTENSI PELANGGARAN MENJELANG TAHAPAN PENCALONAN PEMILIHAN GBW 2015
MODUS BARU POLITIK TRANSAKSIONAL MENJELANG PENCALONAN
Menjelang tahapan pencalonan pilkada serentak 2015
yang segera akan dimulai, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Kalimantan
Barat mencium adanya modus baru dalam praktik "uang perahu"
yakni dengan menggunakan jasa pihak ketiga yang disebut calo politik. Praktek
penyimpangan rekrutmen calon kepala daerah yang berpotensi melahirkan calon
bermasalah adalah pengenaan "uang perahu" atau mahar untuk dapat
diusung partai politik.
Praktek "uang
perahu" jelang pilkada serentak semakin canggih dengan melibatkan pihak
ketiga, guna menghindari larangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Pemilihan GBW. Permainannya semakin canggih, jadi tidak lagi masuk
pada lembaga partai.
Modus yang dilakukan adalah dengan menggunakan calo politik.
Diharapkan agar pasangan calon menjauhi praktik mahar politik tersebut. Sebab dalam UU tentang Pemilihan GBW telah tegas melarang. Isi asal 47 menegaskan partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dari calon. Apabila terbukti, partai dilarang untuk mengusung calon pada periode berikutnya, dibebankan denda 10 kali lipat dari imbalan yang diterima, dan penetapan calon yang menang akan dibatalkan. Tidak dibenarkan adanya imbalan-imbalan dalam proses penjaringan calon, sangsi bagi calon yang bayar akan didiskualifikasi.
selain modus baru tersebut diatas, potensi-potensi pelanggaran lainnya seperti yang kerap dilakukan oleh petahana atau calon kepala daerah yang saat berkompetisi, tengah menjabat sebagai kepala daerah. Petahana atau incumbent yang melakukan mutasi jabatan struktural pada enam bulan sebelum berakhir masa jabatan, terancam diskualifikasi sebagai calon. Ancaman serupa juga diberikan terhadap petahana yang memanfaatkan fasilitas milik pemerintah dalam kegiatan kampanyenya.
"Contohnya ada baliho yang dipasang dari instansi pemerintah dimana pesan menyangkut pemerintahnya kecil sekali. Pesan dimaksud jauh lebih kecil dari foto kepala daerah, itu juga akan didiskualifikasi berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
*Penulis: Musa. J, SE. Tim Asistensi Divisi Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu Provinsi Kalimantan Barat.
Modus yang dilakukan adalah dengan menggunakan calo politik.
Diharapkan agar pasangan calon menjauhi praktik mahar politik tersebut. Sebab dalam UU tentang Pemilihan GBW telah tegas melarang. Isi asal 47 menegaskan partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dari calon. Apabila terbukti, partai dilarang untuk mengusung calon pada periode berikutnya, dibebankan denda 10 kali lipat dari imbalan yang diterima, dan penetapan calon yang menang akan dibatalkan. Tidak dibenarkan adanya imbalan-imbalan dalam proses penjaringan calon, sangsi bagi calon yang bayar akan didiskualifikasi.
selain modus baru tersebut diatas, potensi-potensi pelanggaran lainnya seperti yang kerap dilakukan oleh petahana atau calon kepala daerah yang saat berkompetisi, tengah menjabat sebagai kepala daerah. Petahana atau incumbent yang melakukan mutasi jabatan struktural pada enam bulan sebelum berakhir masa jabatan, terancam diskualifikasi sebagai calon. Ancaman serupa juga diberikan terhadap petahana yang memanfaatkan fasilitas milik pemerintah dalam kegiatan kampanyenya.
"Contohnya ada baliho yang dipasang dari instansi pemerintah dimana pesan menyangkut pemerintahnya kecil sekali. Pesan dimaksud jauh lebih kecil dari foto kepala daerah, itu juga akan didiskualifikasi berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
*Penulis: Musa. J, SE. Tim Asistensi Divisi Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu Provinsi Kalimantan Barat.
Rabu, 13 Mei 2015
BIMTEKS KERJA SAMA
PENGAWASAN DALAM PEMILIHAN BUPATI TAHUN 2015
Bawaslu Kalbar, Pontianak. Divisi Pengawasan Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Barat menggelar Bimbingan Teknis
(Bimteks) “Kerja Sama Pengawasan”. Bertempat di Aula Departemen Koperasi
Indonesia Wilayah (Dekopinwil) Kalimantan Barat, Bimteks dilaksanakan tanggal
11 s/d 13 Mei 2015. Selain menghadirkan nara sumber dari 3 koordinator divisi
Bawaslu Provinsi Kalimantan Barat, juga dihadirkan narasumber dari Badan
Kesatuan Bangsa dan Politik serta narasumber dari Kepolisian Daerah (Polda)
Kalimantan Barat.
Krisantus Heru Siswanto,
Koordinator Divisi Pengawasan Bawaslu Provinsi Kalimantan Barat menyampaikan
materi “Urgensi Partisipasi Publik Dalam Pengawasan Pemilihan Bupati Tahun 2015
di Provinsi Kalimantan Barat”. Keterbatasan jumlah Pengawas mulai dari Pengawas
ditingkat Kabupaten sampai pada Pengawas ditingkat Desa dan TPS menjadi salah
satu indikator betapa pentingnya peran publik ikut serta berpartisipasi dalam
pengawasan Pemilihan Bupati, ungkap komisioner yang akrab disapa dengan
Krisantus. Sementara Ruhermansyah, SH., Koordinator Divisi Sumber Daya Manusia
(SDM) yang juga Ketua Bawaslu Kalbar menyampaikan materi “Strategi Mewujudkan
Pengawasan Partisipatif Dalam Pemilihan Bupati Tahun 2015”. Ruhermansyah
mengatakan bahwa bentuk Pengawasan Partisipatif dapat diwujudkan dengan
membangun kerja sama dengan stake holder,
simpul-simpul masyarakat baik tokoh masyarakat, tokoh adat serta tokoh agama.
Koordinator Divisi Hukum, Humas dan Hubungan Antara lembaga (H2AL), Mohamad,
SH., menyampaikan materi “Penangan Pelanggaran Pemilihan Bupati Tahun 2015”.
Identifikasi Potensi Kerawanan Pelanggaran Pemilu, Pemetaan kerawanan
berdasarkan geografis dan tofografi, serta trend pelanggaran pemilu menjadi
penekanan pada materi penanganan pelanggaran. Mohamad juga menyampaikan
mekanisme pelaporan serta batasan waktu pelaporan dan lamanya proses penanganan
pelanggaran sangat perlu difahami oleh publik, sehingga publik juga dapat
memberi warning kepada pengawas
pemilu terkait penanganan pelanggaran pemilu agar tidak kadaluarsa dari segi
waktu.
Kegiatan bimteks kerjasama
pengawasan juga menghadirkan narasumber dari Polda Kalbar dan Badan Kesbangpol.
Bobianto, Kepala Biro Operasi (Kabiro Ops) Polda Kalbar menyampaikan materi “Kesiapan
Pengamanan Pemilihan Bupati Tahun 2015”. Pria yang akrab disapa Bobi ini
menekankan pada pemetaan potensi konflik, baik konflik akibat SARA,
IPOLEKSOSBUD, dan Sumber Daya Alam (SDA). Bobi juga menekankan pada
sasaran-saran pengamanan yang akan dilakukan oleh Polda Kalbar dalam
mengamankan Pemilihan Bupati di 7 Kabupaten yang ada di provinsi Kalimantan
Barat. Sementara Kepala Badan Kesbangpol menyampaikan materi “Komitmen
Pemerintah Provinsi Mendorong Pemilihan Bupati yang Berintegritas dan
Berkualitas”. Aliuk, S.Pd, M.Si., Kepala Badan kesbangpolProvinsi Kalimantan
Barat menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat siap mendukung
Pemilihan Bupati 2015 melalui beberapa hal sebagai berikut: Pemantaun, Pelaporan
dan Evaluasi Perkembangan Politik di Daerah (Permendagri No. 61 Th. 2011). Fasilitasi
Sosialisasi Pemilu/desiminasi
pelaksanaan Pemilu; Rapat Koordinasi Pemantapan pemilu; Bimtek Pendidikan Politik bagi Pemilih Pemula; Pendidikan politik bagi kaum perempuan; Sosialisasi melalui media massa baik cetak maupun
elektronik; Fasilitasi administrasi izin/cuti bagi Kepala Daerah terkait pencalonan; Fasilitasi penyediaan Data Poteni Pemilih Pemilu (DP-4); Memberikan dukungan sarana dan prasarana jika diperlukan dan
memfasilitasi proses distribusi logistik yang tepat waktu, ungkap Aliuk.
Peserta kegiatan Bimteks ini
terdiri dari 7 Panwaslih Kabupaten dari Divisi Pengawasan, Organisasi
Kemasyarakatan, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Komnas HAM, Komisi
Perlindungan Anak Daerah, serta wartawan dari media cetak dan media elektronik
yang ada di Pontianak.
Penulis: Musa. J. Tim Asistensi
Divisi Pengawasan Bawaslu Kalbar
Minggu, 10 Mei 2015
Pilkada 2015, Potensi Pelanggaran Semakin Canggih
Jakarta,
DKPP- Anggota sekaligus Juru Bicara DKPP Nur Hidayat Sardini mengungkapkan
kemungkinan akan adanya potensi pelanggaran yang semakin canggih pada Pilkada
serentak 2015. Hal tersebut Ia sampaikan di ruang kerjanya, kantor DKPP siang
tadi, Rabu (6/5).
“Asumsi
dasarnya, mereka para aktor atau peserta Pemilu kebanyakan ialah pemain lama,
Pilkada bukan hal yang baru bagi mereka, ini artinya terjadi pemahaman yang
lebih matang bagi mereka sehingga mereka tahu dimana titik-titik kelemahan
Penyelenggara Pemilu,” terang pria yang baru saja merilis buku “Mekanisme
Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu” itu.
Lebih lanjut,
Dosen pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro ini juga
mengungkapkan dengan pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh aktor/
peserta Pemilu, para aktor tersebut tahu pada titik mana mereka harus
“bermain”. Apakah tetap menggunakan metode kuno yaitu dengan membagi-bagikan
uang kepada pemilih, ataukah dengan metode baru, misalnya dengan cara potong
kompas.
Adapun
simpul-simpul pelanggaran yang kemungkinan akan terjadi pada Pilkada 2015
nanti, pria yang kerap disapa NHS ini menerangkan secara garis besar
kemungkinan tidak terlalu berbeda dengan Pilkada- Pilkada sebelumnya (red :
Juni 2005-2013). Misalnya pada tahap Pendaftaran Bakal Calon (Balon),
seringkali KPU dihadapkan pada problem otoritas dan legalitas terkait dinamika
internal partai politik (kepengurusan ganda).
“Sepanjang
perkara Pilkada 2012-2013 yang pernah ditangani DKPP salah satu permasalahan
yang paling mengemuka adalah pencalonan, yang relevansinya pada keberpihakan,”
jelasnya.
Sedangkan
pada simpul Pemungutan dan Penghitungan suara NHS menjelaskan dalam tahapan
tersebut potensi pelanggaran yang paling rawan ialah adanya manipulasi suara
yang juga merupakan balutan dari keberpihakan.
Menghadapi
ancaman pelanggaran tersebut, tentu DKPP telah menyiapkan berbagai threatment
untuk meminimalisir pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu pada Pilkada
2015. Salah satunya melalui sosialisasi di beberapa titik.
“Selain itu,
DKPP juga melakukan pembinaan yang bersifat spesifik, kadang jajaran
penyelenggara Pemilu ada yang konsul ke DKPP, kami terima mereka,” tutup
NHS. (Susi Dian Rahayu)
Editor: Dio
(Sumber berita dari Web DKPP, BY: Lamus)
Kamis, 07 Mei 2015
BIMTEKS KERJA SAMA PENGAWASAN
DIVISI PENGAWASAN BAWASLU KALBAR AKAN MELAKSANAKAN BIMTEKS
KERJA SAMA PENGAWASAN
Pengawasan partisipatif merupakan strategi
pengawasan Pemilihan Umum yang melibatkan masyarakat dalam hal ini para pemuda,
organisasi mahasiswa/pemuda dan sebagainya. Strategi ini dilakukan dalam
rangka mendorong secara aktif peran masyarakat untuk melakukan pengawasan
Pemilu/Pemilukada.
Pengawasan Pemilihan Bupati dan Wakil tahun
2015 di Provinsi Kalimantan Barat masih menggunakan strategi pengawasan
partisipatif. Sehubungan dengan hal tersebut maka Divisi Pengawasan Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Barat akan melaksanakan
Bimbingan Teknis (Bimteks) kerja sama pengawasan yang akan dilaksanakan pada
tanggal 11 – 13 Mei 2015, bertempat di Aula Graha Departemen Koperasi Indonesia
Wilayah (Dekopinwil). Kegiatan Bimteks tersebut akan menghadirkan Narasumber
dari Pimpinan Bawaslu Provinsi Kalbar, Kepolisian Daerah Klaimantan Barat dan
Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpollinmas)
Provinsi Kalimantan Barat.
Bimteks Kerja Sama pengawasan tersebut akan
diikuti oleh Anggota Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kabupaten Divisi
Pengawasan dari 7 Kabupaten yang akan melaksanakan Pemiliahan Bupati dan Wakil
Bupati tahun 2015, Perwakilan Media Cetak, Media Elektronik, serta LSM yang ada
di Provinsi Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak (by: Lamus).
Rabu, 06 Mei 2015
Mengawasi Pelanggaran/Kejahatan
Penyelenggara Pemilu
|
Pemilihan Umum merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna
menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila
Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan
menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara Pemilu
yang lemah dan tidak mempunyai integritas berpotensi menghambat terwujudnya
Pemilu yang berkualitas dan mencederai proses demokrasi.
Pelaksanaan pemilu yang berkualitas tergantung dari Penyelenggara pemilu
yaitu KPU dan Bawaslu mulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling bawah
kelurahan/desa yang bertugas untuk menyelenggarakan dan mengawasi pelaksanaan
pemilu yang LUBER dan JURDIL. Dan Sejak berlakunya UU No. 15 tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu telah dibentuk sebuah lembaga baru yaitu Dewan kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bertugas untuk menegakkan kode etik
penyelenggara pemilu.
Integritas Peyelenggara Pemilu
Integritas Penyelenggara pemilu saat ini disangsikan oleh berbagai pihak???, Betapa tidak, dalam catatan DKPP sepanjang tahun 2012-2013 DKPP telah memecat sebanyak 117 orang penyelenggara pemilu yang menjadi pertanda bahwa masih banyak penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas dan berkualitas. Hal ini bisa terjadi karena disebabkan oleh pola perekrutan komisioner KPU dan BAWASLU yang tidak berkualitas dan transparan, lemahnya prosedur aturan formal maupun karena kualitas moral yang rendah dan mudah tergiur oleh rayuan peserta pemilu maupun peserta pemilukada. Dalam proses perekrutan khususnya anggota KPU di daerah, sudah jamak terdengar bahwa proses tersebut banyak diwarnai oleh lobi-lobi personal maupun tekanan “orang-orang kuat†agar seorang calon anggota KPU bisa lolos seleksi, termasuk praktek suap untuk mempengaruhi keputusan penetapan anggota KPU yang lolos seleksi, sehingga tatkala mereka lolos pasti dengan mudah dapat ditebak mereka akan mengabdi kepada para “sponsor†dan mengabaikan kode etik penyelenggara pemilu.
Modus Pelanggaran/Kejahatan Penyelenggara Pemilu
Dalam pelaksanaan Pemilu 2014 telah diprediksi akan berpotensi terjadi berbagai macam pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu sehingga hal tersebut harus diantisipasi.
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis kami terhadap pemilu 2009 yang lalu terhadap beberapa kasus yang kami laporkan dan diproses oleh Dewan Kehormatan KPU Prov. Sultra tahun 2009 ada beberapa modus dan potensi pelanggaran yang dapat dilakukan penyelenggara pemilu pada tahun 2014 yaitu : Pertama Penyelenggara Pemilu bekerja tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kode etik penyelenggara pemilu, Kedua Penyelenggara pemilu menghilangkan hak pilih masyarakat, Ketiga Penyelenggara pemilu menggunakan jabatan dan kewenangannya untuk mengarahkan penyelenggara pemilu lainnya mendukung partai atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan oleh komisioner KPU didaerah dengan mengarahkan PPK maupun PPS untuk mendukung caleg tertentu Keempat Penyelenggara Pemilu mengubah berita acara hasil perhitungan suara untuk memenangkan partai atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan mulai dari tingkat KPPS sampai dengan KPU Kab/KPU Prov. Kelima Penyelenggara Pemilu (Bawaslu/Panwaslu) tidak memproses temuan maupun laporan pelanggaran pemilu yang dilaporkan oleh masyarakat, Keenam Penyelenggara Pemilu menerima suap dari partai atau caleg tertentu, Ketujuh Penyelenggara bermain dan intervensi dalam pengadaan logistik pemilu dan pengelolaan keuangan pemilu, Kedelapan Penyelenggara Pemilu membuat kebijakan yang menguntungkan partai atau caleg tertentu.
Sanksi bagi Penyelenggara pemilu
Berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD setidaknya ada dua sanksi yang bisa diterima oleh penyelenggara Pemilu apabila melakukan pelanggaran dan atau kejatahatan, yaitu sanksi pidana dan saksi kode etik.
Sanksi pidana diberikan apabila penyelenggara pemilu melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Tindak pidana pemilu meliputi pelanggaran dan atau kejahatan yang diatur dalam pasal 273 sampai dengan pasal 312 UU No. 8 tahun 2012. Pidana pemilu bagi penyelenggara pemilu berlaku untuk dua lembaga yaitu KPU beserta jajarannya sampai tingkat PPS dan atau KPS/KPPSLN dan Bawaslu beserta jajaran sampai tingkal PPL. Pidana pemilu untuk anggota KPU beserta jajarannya meliputi tindak pidana menghilangkan hak pilih dan pemutakhiran DPT (Psl. 273,292,293,294), melakukan rekayasa atau pemalsuan dokumen persyaratan bakal calon anggota DPR,DPD,DPRD (Psl 298), tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/panwaslu (psl 296), tidak memberikan salinan DPT kepada parpol ( psl. 295), melakukan tindak pidana kampanye dan kampanye diluar jadwal (psl 276, 302) tidak menandatangani berita acara pemungutan suara/sertifikat hasil penghitungan suara (Psl. 285), tidak mengumumkan dan memberikan salinan hasil pengitungan suara (psl 288, 290) menyebabkan hilangnya suara pemilih atau sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan perolehan suara (psl. 287, 309, 311,312), tidak menyerahkan kotak suara beserta isinya (Psl 315,316) tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap (psl 318), sengaja tidak melaksanakan keputusan pemungutan suara ulang (psl 285) tidak menetapkan perolehan hasil pemilu (psl 319). Untuk BAWASLU beserta jajaran meliputi tindak pidana tidak mengawasi penyerahan kotak suara beserta isinya (psl 289), tidak menindaklanjuti laporan atau pengaduan terhadap pelanggaran anggota KPU,KPU prov, KPU Kab.,PPK,PPS dan atau KPPS/KPPSLN (psl 320). UU No. 8 tahun 2012 juga khusus memberikan pemberatan kepada penyelenggara pemilu dengan tambahan hukuman 1/3 dari ketentuan pidana yang ditentukan.
Sanksi kode etik diberikan apabila terbukti penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran kode etik. Pelanggaran kode etik tidak hanya terkait dengan adanya pelanggaran pidana pemilu tetapi juga terkait pelanggaran adminsitrasi maupun berbagai tindakan penyelenggara pemilu yang tidak sejalan dengan kode etik penyelenggara pemilu. Pelanggaran kode etik dapat diberikan apabila penyelenggara pemilu terbukti melanggar kode etik yang berlandaskan UUD 1945, sumpah jabatan sebagai penyelenggara pemilu dan asas penyelenggara pemilu sebagaimana telah diatur dalam UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan Peraturan bersama KPU,BAWASLU dan DKPP no. 1,11,13 tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Asas penyelenggara pemilu meliputi asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalisme, akuntabilitas,, efisiensi dan efektifitas yang harus dipedomani oleh setiap penyelenggara pemilu.
Penegakkan Hukum Pemilu
Salah satu yang sering menjadi bahan kritikan masyarakat adalah masalah lemahnya penegakkan hukum pemilu. Walaupun dalam UU no. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR,DPD,dan DPRD telah diatur berbagai macam pelanggaran pemilu tetapi dalam pelaksanaanya belum efektif dilapangan.
Pengakkan hukum bagi penyelenggara pemilu terutama masalah pelanggaran pidananya yang dirasakan tidak efektif diakibatkan oleh beberapa hal yaitu Pertama, ancaman pidana yang banyak terdapat di dalam UU No. 8/2012 masih belum menemui sasaran karena tidak tersosialisasi dengan baik dimasyarakat, sehingga masyarakat ataupun peserta pemilu tidak paham dengan berbagai tindak pidana pemilu yang dapat dilaporkan, Kedua, efektivitas penggunaan ketentuan pidana terkait dengan berbagai kecurangan penyelenggara mengenai administrasi pemilu, hal ini disebakan karena susahnya masyarakat atau peserta pemilu untuk mendapatkan akses informasi terkait dengan administrasi pemilu karena selalu dikaitkan dengan kerahasian informasi pemilu, dan juga pembuktian yang susah terkait bukti surat yang telah direkayasa ataupun sengaja dibiarkan oleh penyelenggara pemilu. Ketiga, batasan waktu dalam pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, serta proses banding ternyata di satu sisi bermaksud baik agar proses dan hasil pemilu tidak banyak diungkit-ungkit, tapi juga berdampak buruk berupa musnahnya banyak perkara yang mungkin secara materiil memang memenuhi unsur tindak pidana pemilu. Ketentuan tersebut tidak memperhitungkan kondisi di berbagai daerah di Indonesia sehingga berakibat banyak tindak pidana pemilu tidak bisa diproses lebih lanjut karena sudah dianggap kedaluwarsa. Jika dibandingkan, betapa kontras dan tidak logisnya ketentuan â€daluwarsa†dalam UU No. 08/2012 dengan KUHP. Ketidakadilan itu sungguh terlihat dengan membandingkan antara perbuatan yang serius (mengubah hasil pemilu) dalam Pasal 312 UU No. 8/2012 yang bisa dihukum hingga 36 bulan tetapi hak menuntutnya akan hapus hanya dalam waktu 7 (Tujuh) hari, sementara perbuatan yang sangat ringan (mengemis) dalam Pasal 504 yang diancam kurungan 6 minggu ternyata masa daluwarsanya 1 tahun (sesuai Pasal 78 ayat 1 KUHP). Keempat, lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu/Panwaslu, sebagaimana diketahui bahwa Bawaslu/Panwaslu yang berhak untuk mengawasi peyelenggaraan Pemilu termasuk mengawasi penyelenggara pemilu dan Bawaslu/Panwaslu yang bisa leluasa untuk mengakses administrasi pemilu dari KPU. Laporan masyarakat tidak boleh langsung dilaporkan kepada kepolisian tetapi harus melalui Bawaslu/panwaslu yang akan mengkaji terlebih dahulu sebelum diteruskan kepada pihak yang berwenang. Tetapi disayangkan bahwa Bawaslu/Panwaslu terkadang hanya berharap dari laporan masyarakat dan tidak melaksanakan fungsinya untuk bisa bisa menemukan sendiri berbagai kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk diteruskan kepada pihak yang berwenang yakni Kepolisian atau DKPP padahal kewenangannya cukup besar dan bahkan ironis beberapa contoh kasus di Sultra terkesan Panwaslu mendiamkan berbagai laporan masyarakat dengan berbagai alasan formalistik yang mengada-ada.
Dalam hal penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu juga masih dirasakan kurang efektif, mengingat bahwa kedudukan DKPP yang berkantor di Jakarta yang menyulitkan bagi masyarakat ataupun peserta pemilu di daerah untuk melaporkan pelanggaran penyelenggara pemilu di daerah, walaupun menjelang Pemilu 2014 ini DKPP telah membentuk Tim Pemeriksa Daerah yang bertugas untuk menerima laporan dan memeriksa perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tetapi hal itu belum bisa menjamin akan mengefektifkan penegakkan kode etik penyelenggara pemilu, sehingga keterlibatan aktif masyarakat untuk mengawasi penyelenggara pemilu sangat diharapkan untuk mewujudkan Pemilu 2014 yang LUBER, JURDIL dan Berkualitas.
Integritas Peyelenggara Pemilu
Integritas Penyelenggara pemilu saat ini disangsikan oleh berbagai pihak???, Betapa tidak, dalam catatan DKPP sepanjang tahun 2012-2013 DKPP telah memecat sebanyak 117 orang penyelenggara pemilu yang menjadi pertanda bahwa masih banyak penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas dan berkualitas. Hal ini bisa terjadi karena disebabkan oleh pola perekrutan komisioner KPU dan BAWASLU yang tidak berkualitas dan transparan, lemahnya prosedur aturan formal maupun karena kualitas moral yang rendah dan mudah tergiur oleh rayuan peserta pemilu maupun peserta pemilukada. Dalam proses perekrutan khususnya anggota KPU di daerah, sudah jamak terdengar bahwa proses tersebut banyak diwarnai oleh lobi-lobi personal maupun tekanan “orang-orang kuat†agar seorang calon anggota KPU bisa lolos seleksi, termasuk praktek suap untuk mempengaruhi keputusan penetapan anggota KPU yang lolos seleksi, sehingga tatkala mereka lolos pasti dengan mudah dapat ditebak mereka akan mengabdi kepada para “sponsor†dan mengabaikan kode etik penyelenggara pemilu.
Modus Pelanggaran/Kejahatan Penyelenggara Pemilu
Dalam pelaksanaan Pemilu 2014 telah diprediksi akan berpotensi terjadi berbagai macam pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu sehingga hal tersebut harus diantisipasi.
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis kami terhadap pemilu 2009 yang lalu terhadap beberapa kasus yang kami laporkan dan diproses oleh Dewan Kehormatan KPU Prov. Sultra tahun 2009 ada beberapa modus dan potensi pelanggaran yang dapat dilakukan penyelenggara pemilu pada tahun 2014 yaitu : Pertama Penyelenggara Pemilu bekerja tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kode etik penyelenggara pemilu, Kedua Penyelenggara pemilu menghilangkan hak pilih masyarakat, Ketiga Penyelenggara pemilu menggunakan jabatan dan kewenangannya untuk mengarahkan penyelenggara pemilu lainnya mendukung partai atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan oleh komisioner KPU didaerah dengan mengarahkan PPK maupun PPS untuk mendukung caleg tertentu Keempat Penyelenggara Pemilu mengubah berita acara hasil perhitungan suara untuk memenangkan partai atau caleg tertentu, hal ini banyak dilakukan mulai dari tingkat KPPS sampai dengan KPU Kab/KPU Prov. Kelima Penyelenggara Pemilu (Bawaslu/Panwaslu) tidak memproses temuan maupun laporan pelanggaran pemilu yang dilaporkan oleh masyarakat, Keenam Penyelenggara Pemilu menerima suap dari partai atau caleg tertentu, Ketujuh Penyelenggara bermain dan intervensi dalam pengadaan logistik pemilu dan pengelolaan keuangan pemilu, Kedelapan Penyelenggara Pemilu membuat kebijakan yang menguntungkan partai atau caleg tertentu.
Sanksi bagi Penyelenggara pemilu
Berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD setidaknya ada dua sanksi yang bisa diterima oleh penyelenggara Pemilu apabila melakukan pelanggaran dan atau kejatahatan, yaitu sanksi pidana dan saksi kode etik.
Sanksi pidana diberikan apabila penyelenggara pemilu melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Tindak pidana pemilu meliputi pelanggaran dan atau kejahatan yang diatur dalam pasal 273 sampai dengan pasal 312 UU No. 8 tahun 2012. Pidana pemilu bagi penyelenggara pemilu berlaku untuk dua lembaga yaitu KPU beserta jajarannya sampai tingkat PPS dan atau KPS/KPPSLN dan Bawaslu beserta jajaran sampai tingkal PPL. Pidana pemilu untuk anggota KPU beserta jajarannya meliputi tindak pidana menghilangkan hak pilih dan pemutakhiran DPT (Psl. 273,292,293,294), melakukan rekayasa atau pemalsuan dokumen persyaratan bakal calon anggota DPR,DPD,DPRD (Psl 298), tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/panwaslu (psl 296), tidak memberikan salinan DPT kepada parpol ( psl. 295), melakukan tindak pidana kampanye dan kampanye diluar jadwal (psl 276, 302) tidak menandatangani berita acara pemungutan suara/sertifikat hasil penghitungan suara (Psl. 285), tidak mengumumkan dan memberikan salinan hasil pengitungan suara (psl 288, 290) menyebabkan hilangnya suara pemilih atau sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan perolehan suara (psl. 287, 309, 311,312), tidak menyerahkan kotak suara beserta isinya (Psl 315,316) tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap (psl 318), sengaja tidak melaksanakan keputusan pemungutan suara ulang (psl 285) tidak menetapkan perolehan hasil pemilu (psl 319). Untuk BAWASLU beserta jajaran meliputi tindak pidana tidak mengawasi penyerahan kotak suara beserta isinya (psl 289), tidak menindaklanjuti laporan atau pengaduan terhadap pelanggaran anggota KPU,KPU prov, KPU Kab.,PPK,PPS dan atau KPPS/KPPSLN (psl 320). UU No. 8 tahun 2012 juga khusus memberikan pemberatan kepada penyelenggara pemilu dengan tambahan hukuman 1/3 dari ketentuan pidana yang ditentukan.
Sanksi kode etik diberikan apabila terbukti penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran kode etik. Pelanggaran kode etik tidak hanya terkait dengan adanya pelanggaran pidana pemilu tetapi juga terkait pelanggaran adminsitrasi maupun berbagai tindakan penyelenggara pemilu yang tidak sejalan dengan kode etik penyelenggara pemilu. Pelanggaran kode etik dapat diberikan apabila penyelenggara pemilu terbukti melanggar kode etik yang berlandaskan UUD 1945, sumpah jabatan sebagai penyelenggara pemilu dan asas penyelenggara pemilu sebagaimana telah diatur dalam UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan Peraturan bersama KPU,BAWASLU dan DKPP no. 1,11,13 tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Asas penyelenggara pemilu meliputi asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalisme, akuntabilitas,, efisiensi dan efektifitas yang harus dipedomani oleh setiap penyelenggara pemilu.
Penegakkan Hukum Pemilu
Salah satu yang sering menjadi bahan kritikan masyarakat adalah masalah lemahnya penegakkan hukum pemilu. Walaupun dalam UU no. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR,DPD,dan DPRD telah diatur berbagai macam pelanggaran pemilu tetapi dalam pelaksanaanya belum efektif dilapangan.
Pengakkan hukum bagi penyelenggara pemilu terutama masalah pelanggaran pidananya yang dirasakan tidak efektif diakibatkan oleh beberapa hal yaitu Pertama, ancaman pidana yang banyak terdapat di dalam UU No. 8/2012 masih belum menemui sasaran karena tidak tersosialisasi dengan baik dimasyarakat, sehingga masyarakat ataupun peserta pemilu tidak paham dengan berbagai tindak pidana pemilu yang dapat dilaporkan, Kedua, efektivitas penggunaan ketentuan pidana terkait dengan berbagai kecurangan penyelenggara mengenai administrasi pemilu, hal ini disebakan karena susahnya masyarakat atau peserta pemilu untuk mendapatkan akses informasi terkait dengan administrasi pemilu karena selalu dikaitkan dengan kerahasian informasi pemilu, dan juga pembuktian yang susah terkait bukti surat yang telah direkayasa ataupun sengaja dibiarkan oleh penyelenggara pemilu. Ketiga, batasan waktu dalam pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, serta proses banding ternyata di satu sisi bermaksud baik agar proses dan hasil pemilu tidak banyak diungkit-ungkit, tapi juga berdampak buruk berupa musnahnya banyak perkara yang mungkin secara materiil memang memenuhi unsur tindak pidana pemilu. Ketentuan tersebut tidak memperhitungkan kondisi di berbagai daerah di Indonesia sehingga berakibat banyak tindak pidana pemilu tidak bisa diproses lebih lanjut karena sudah dianggap kedaluwarsa. Jika dibandingkan, betapa kontras dan tidak logisnya ketentuan â€daluwarsa†dalam UU No. 08/2012 dengan KUHP. Ketidakadilan itu sungguh terlihat dengan membandingkan antara perbuatan yang serius (mengubah hasil pemilu) dalam Pasal 312 UU No. 8/2012 yang bisa dihukum hingga 36 bulan tetapi hak menuntutnya akan hapus hanya dalam waktu 7 (Tujuh) hari, sementara perbuatan yang sangat ringan (mengemis) dalam Pasal 504 yang diancam kurungan 6 minggu ternyata masa daluwarsanya 1 tahun (sesuai Pasal 78 ayat 1 KUHP). Keempat, lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu/Panwaslu, sebagaimana diketahui bahwa Bawaslu/Panwaslu yang berhak untuk mengawasi peyelenggaraan Pemilu termasuk mengawasi penyelenggara pemilu dan Bawaslu/Panwaslu yang bisa leluasa untuk mengakses administrasi pemilu dari KPU. Laporan masyarakat tidak boleh langsung dilaporkan kepada kepolisian tetapi harus melalui Bawaslu/panwaslu yang akan mengkaji terlebih dahulu sebelum diteruskan kepada pihak yang berwenang. Tetapi disayangkan bahwa Bawaslu/Panwaslu terkadang hanya berharap dari laporan masyarakat dan tidak melaksanakan fungsinya untuk bisa bisa menemukan sendiri berbagai kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk diteruskan kepada pihak yang berwenang yakni Kepolisian atau DKPP padahal kewenangannya cukup besar dan bahkan ironis beberapa contoh kasus di Sultra terkesan Panwaslu mendiamkan berbagai laporan masyarakat dengan berbagai alasan formalistik yang mengada-ada.
Dalam hal penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu juga masih dirasakan kurang efektif, mengingat bahwa kedudukan DKPP yang berkantor di Jakarta yang menyulitkan bagi masyarakat ataupun peserta pemilu di daerah untuk melaporkan pelanggaran penyelenggara pemilu di daerah, walaupun menjelang Pemilu 2014 ini DKPP telah membentuk Tim Pemeriksa Daerah yang bertugas untuk menerima laporan dan memeriksa perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tetapi hal itu belum bisa menjamin akan mengefektifkan penegakkan kode etik penyelenggara pemilu, sehingga keterlibatan aktif masyarakat untuk mengawasi penyelenggara pemilu sangat diharapkan untuk mewujudkan Pemilu 2014 yang LUBER, JURDIL dan Berkualitas.
DIVISI PENGAWASAN BAWASLU KALBAR: BAWASLU KALBAR LANTIK 21 ANGGOTA PANWASLIH 2015
DIVISI PENGAWASAN BAWASLU KALBAR: BAWASLU KALBAR LANTIK 21 ANGGOTA PANWASLIH 2015: BAWASLU KALBAR LANTIK 21 PANWASLIH 2015 Pontianak, Bawaslu Prov. Kalbar. Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Kalimanta...
BAWASLU KALBAR LANTIK 21 ANGGOTA PANWASLIH 2015
BAWASLU KALBAR LANTIK 21 PANWASLIH 2015
Pontianak, Bawaslu
Prov. Kalbar. Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
Provinsi Kalimantan Barat melantik 21 Anggota Panitia Pengawas Pemilihan
(Panwaslih) Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015. Sebanyak 21 Anggota Panwaslih
tersebut berasal dari 7 Kabupaten yang akan melaksanakan Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati di Provinsi Kalimantan Barat, yaitu: Kabupaten Bengkayang,
Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten
Sekadau, Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sambas. Pelantikan dilaksanakan di gedung Graha Dewan
Koperasi Indonesia Wilayah (Dekopinwil) kota Pontianak, Kamis, (30/4).
Dalam sambutannya,
ketua Bawaslu Prov. Kalbar, Ruhermansyah, SH. Menyampaikan pesan kepada 21
Panwaslih yang baru saja dilantik agar menjauhi dan hindari diri konflik kepentingan, keberpihakan dan mencegah terjadinya konflik; melakukan maping Indek Kerawanan Pemilu dan
koordinasikan dengan aparat keamanan sudah tentu memiliki peta kerawanan
konflik berdasarkan pengalaman yang sebelumnya dan berdasarkan informasi
terbaru intelijen; Libatkan masyarakat secara masif dalam partisipasi
pengawasan pemilihan ini dan untuk kerjasama pengawasan, menjaga keamanan dan
ketertiban; jangan lengah dan lalai untuk melakukan pembinaan pada jajaran di
bawahnya;
Bimteks Panwaslih 2015
Ketua Bawaslu RI, Profesor
Dr Muhammad, SIP, M.Si. saat menjadi narasumber kegiatan Bimbingan Teknis bagi
anggota Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati tahun 2015 Provinsi
Kalimantan Barat di gedung Graha Dewan Koperasi Indonesia Wilayah (Dekopinwil)
kota Pontianak, Kamis, (30/4) mengatakan bahwa Pilkada memiliki potensi konflik
yang lebih besar dibanding Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Karena
Pilkada melibatkan secara langsung tiga struktur kekuasaan yaitu kelompok elit,
kelas menengah,dan masyarakat akar rumput. Semua kelompok tersebut akan
bersinggungan untuk mencapai target dalam memenangkan Pilkada. Sehingga Pilkada
ini menjadi tantangan besar bagi penyelenggara Pemilu khususnya panitia
pengawas.
Ia menyatakan meskipun
Komisi II DPR RI masih meragukan kesiapan KPU dan Bawaslu beserta jajaran di
daerah bisa menyelenggarakan Pilkada serentak ini dengan baik dan fair,
namun mau tidak mau hal ini harus dijawab. "Kalau pada tahun 2015 ini kita
bisa sukses menyelenggarakan Pilkada khususnya pengawasan, maka insyaAllah lima
tahap selanjutnya tetap akan diserahkan kepada KPU dan Bawaslu" tandasnya.
Pilkada 2015 ini,
meminjam istilah sepak bola merupakan tantangan yang bersifat suddent
death bagi lembaga pengawas Pemilu. Kalau di Pilkada ini ternyata
menurut penilaian DPR bahwa KPU dan Bawaslu tidak sukses memastikan proses
Pilkada bebas dari intervensi, tekanan, dan kekurangan, maka dipastikan Pilkada
ini akan kembali ke wacana Pilkada tidak langsung, ujarnya.
Oleh karena itu, yang
menentukan adalah pengawas Pilkada yang ada di tingkat kabupaten/kota. Bawaslu
di pusat sifatnya menerima laporan secara berjenjang, sehingga tidak tahu
persoalan sebenarnya di lapangan. "Untuk besok, Panwas Kab/Kota pada saat
seleksi Panwascam harus dipastikan netral atau tidaknya calon anggota panwascam
tersebut", pesannya.
Muhammad menekankan
kembali kepada seluruh Panwas agar membaca dan mempelajari semua regulasi
terkait Pemilu secara lengkap, cerdas dan cermat. Menurut Undang-undang Nomor
15 Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilu menunjukkan bahwa syarat menjadi
pengawas Pemilu itu lebih berat satu digit daripada KPU. Hal itu dinyatakan
dalam pasal 23 tentang syarat menjadi anggota Pengawas Pemilu yaitu memiliki
pengetahuan kepemiluan dan pengawasan. "Maka menjadi anggota Pengawas
Pemilu itu harus lebih paham regulasi dan lebih cerdas daripada KPU",
imbuhnya. diharapkan dengan menguasai dan memahami regulasi Pemilu, Panitia
Pengawas jadi lebih percaya diri dan profesional dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
Diakhir diskusi, guru
besar ilmu politik Universitas Hasanuddin Makassar ini berpesan kepada seluruh
Panwas yang baru dilantik agar melakukan konsolidasi internal, menjaga
kerjasama dan soliditas antara anggota dan juga sekretariat. Selain itu, Panwas
terpilih juga harus melakukan konsolidasi eksternal dengan KPU, melakukan komunikasi
dengan Pemerintah daerah, media massa serta koordinasi dengan partai politik
untuk memberikan orientasi atau penjelasan terkait Pilkada.
Langganan:
Postingan (Atom)